Terperangkap dalam Kisah Afternoon Tea [Walking After You by Windry Ramadhina]

walking-after-you

Judul: Walking After You

Penulis: Windry Ramadhina

Penerbit: Gagas Media

Genre: Roman, drama, keluarga

Terbit: Desember 2014

Tebal: 328 halaman

Harga: Rp50.000

Rating: 5 dari 5 bintang

Jika saja kedai kue bernama Afternoon Tea itu benaran ada, dengan deskripsi yang sama persis dengan yang ada di novel ini–saya tak akan ragu-ragu untuk mengunjunginya. Menjumpai Gen, Galuh, Julian, dan tentunya… Anise. Mendengarkan mereka berkisah atau setidaknya, mengamati. Menyantap kudapan manis yang juara dari racikan koki-yang-kelewat-serius-dan-suka-merajuk bernama Julian. Mengetahui bahwa Anise–atau lebih suka dipanggil An–ternyata sedang merajut mimpinya ketika memutuskan bekerja di Afternoon Tea. Namun, ketika hari demi hari semakin membuktikan bahwa tangan An bukanlah tangan seorang koki kue, melainkan koki pasta, pertanyaan itu semakin bergulir. Apakah An sungguh-sungguh menghidupi mimpinya sendiri dengan menghabiskan hari-harinya di Afternoon Tea?

Saya tahu, saya sedang sibuk luar biasa. Pekerjaan penuh waktu di kantor, disambung pekerjaan lepas sebagai pemeriksa naskah. Masih sempat membaca novel, hanya saja tidak sempat lagi mengulasnya di sini. Namun, demi novel bintang lima ini, saya tak ragu menyisihkan waktu sebelum benar-benar terlupa mengapa saya harus memberikan bintang penuh pada novel ini. Lima bintang, Din? Sungguh, apakah itu tidak berlebihan? Hei, dengar dulu. Saya sudah mulai mengakrabi karya-karya Windry Ramadhina sejak Montase, bergulir ke Interlude, lalu London, sebelum akhirnya membaca cerita terbarunya ini. Saya mulai mendapatkan ciri khas Windry: alur yang tenang, gaya bahasa cenderung baku-formal, diksi yang sungguh apik dan cermat, dan juga detail pada karakter dan apa saja di sekitar mereka. Saya menikmatinya, walau sempat merasa kurang nyaman dengan gaya bahasa formal padahal tokoh-tokohnya sangat anak muda.

Ketika mulai membaca Walking After You, bisa dikatakan saya sudah benar-benar terbiasa dengan gaya bahasa yang disuguhkan Windry. Pemilihan katanya pun bisa dibilang tidak membosankan dan ‘tidak itu-itu saja’, sekaligus tidak membuat saya tersesat dengan puitis berlebihan. Sederhana sekaligus berkelas–mungkin itu yang bisa saya bilang. Lalu alurnya, menggunakan POV 1 dengan alur yang tetap tenang, tidak terburu-buru tetapi… sungguh, mengalir dengan sangat lancar. Bagaimana ya mengungkapkannya? An berhasil membuat saya curi-curi baca saat jam kerja di kantor! Saya sungguh penasaran dengan penuturan kisahnya selanjutnya. Tidak terburu-buru sekaligus mengalir enak. Kemudian bisa saya katakan bahwa kekuatan novel ini ada pada detailnya–yang sudah saya bilang merupakan salah satu ciri khas penulisan Windry. Setiap karakter–terlebih tokoh utama–digambarkan dengan detail kuat. Meski ada pengulangan deskripsi, tapi dengan penyusunan kalimat yang apik, tak membuat saya bosan, malah semakin penasaran dengan sang tokoh. Latar tempat dan benda-benda pun digambarkan dengan sangat cermat. Oh, jangan salahkan kalau gara-gara detail souffle cokelat yang diceritakan, saya jadi menelusuri seperti apa bentuk kudapan itu, dan seketika saya masukkan dalam daftar makanan ‘baru’ yang ingin saya coba!

ilustrasi souffle cokelat--diambil dari gosocio.co.id

ilustrasi souffle cokelat–diambil dari gosocio.co.id

Ini adalah kisah tentang An, dan masa lalunya, dan masa depannya. Masa lalunya saat kehilangan separuh jiwanya, yang berusaha ditebusnya dengan menjalani masa depan yang bukan menjadi dirinya sendiri. Bekerja di Afternoon Tea, sehangat apa pun dan seenak apa pun setiap kudapan yang dibikin Julian, tetap tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa ini bukan passion An sesungguhnya. Ini adalah pelariannya, caranya menebus dosa akan masa lalu yang tak bisa diulang. Namun, seperti kata orang-orang bijak, selalu ada hal baik di setiap jalan yang kita tempuh.

Di Afternoon Tea, An bertemu dengan Julian, pria yang digambarkan gampang-sekali-tersipu-sekaligus-mudah-marah. Julian yang selalu bersikap dingin pada An, tapi An justru semakin bersemangat untuk menggodanya. Di kedai toko ini pula An bertemu dengan Ayu, Si Gadis Pembawa Hujan, pengunjung setia pemesan souffle cokelat tetapi tak pernah sampai benar-benar dinikmati. Ayu hanya datang untuk melamun lalu pergi. Dan masih di Afternoon Tea, An berjumpa Jinendra, lelaki di masa lalu yang sungguh-sungguh ingin dikibasnya pergi dari ingatan, karena terus mengenangnya akan rasa bersalah. Namun, kehadiran Jinendra membuat An kembali tersadar, bahwa senyaman apa pun Afternoon Tea baginya, tetap mimpi yang sedang ia coba gapai ini bukan mimpinya.

Novel ini tak bisa dibilang tanpa cela, karena kalau benar-benar teliti, kamu akan menemui sedikit saja kesalahan tulis–mungkin satu atau dua–di antara balisan kalimat yang memang sudah sangat rapi. Namun, di kala saya sungguh-sungguh menamatkan novel ini kemarin, saya tak ingat apa yang harus saya komentari sebagai kekurangan. Novel ini sungguh pas, memenuhi syarat sempurna untuk sebuah kisah dengan unsur-unsur ide cerita menarik, penyampaian apik, dan emosi yang tersalurkan lewat tindakan para tokohnya.

Jadi pertanyaan saya buat Windry sekarang: Bagaimana saya bisa berkunjung ke Afternoon Tea dan merasakan kehangatan itu, bertemu dengan Gen, Galuh, Julian, An, dan mungkin juga… Ayu? 🙂

3 thoughts on “Terperangkap dalam Kisah Afternoon Tea [Walking After You by Windry Ramadhina]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s