Judul: Home & Away
Penulis: Mahir Pradana
Penerbit: Gagas Media
Genre: Nonfiksi, Traveling, Olahraga
Terbit: Oktober 2014
Tebal: 284 halaman
Cara dapat: hadiah kuis dari @GagasAddictInd
Harga normal: Rp48.000,00
Saya telah membaca banyak buku perjalanan karya penulis Indonesia. Dan semakin ke sini, variasi buku perjalanan semakin beragam. Saya sudah membaca buku panduan perjalanan hemat, travelogue, ringkasan tip & trik, sampai pengalaman-pengalaman unik di berbagai tempat menginap. Dan ketika membaca buku ini, saya menemukan nuansa yang lain dalam sebuah buku perjalanan. Mahir membagi dengan apik kegilaannya akan sepak bola, mimpi-mimpi remajanya yang mewujud nyata kala dewasa sampai jauh-jauh ke benua biru. Tidak ada yang salah dengan seorang lelaki yang gemar bermain dan menonton bola. Kalau boleh dibilang, tak terlalu istimewa juga karena sudah jamak. Tapi, menjadi peziarah sepak bola? A football traveler? Mahir telah menceritakannya kepada saya melalui buku ini. Dan akan saya coba sampaikan secara ringkas kepadamu. 🙂
Mimpi itu dimulai sejak remaja, bahkan diungkap Mahir kepada guru yang meremehkan angan-angannya. Waktu itu Mahir masih SMP, dan saking gemarnya dengan sepak bola jadi rajin beli tabloid olahraga. Ketika membaca tabloid itu di sekolah–saat jam istirahat–sang guru menyita tabloid itu. Guru itu mengatakan kalau tidak ada gunanya bermimpi menjadi pemain bola, tidak ada masa depan yang baik dengan profesi itu. Tapi, Mahir yang tak terima kegemarannya disita segera mendatangi sang guru dan berikrar, bahwa suatu hari nanti dia akan pergi ke Eropa untuk menyaksikan langsung pertandingan sepak bola di stadion-stadion nan megah.
Mimpi itu diwujudkannya, belasan tahun kemudian. Sungguh, Mahir tidak main-main dengan ucapannya, dengan kegilaannya. Mahir mulai menyusun rencana untuk dapat tinggal lama di benua Eropa, belajar di sana sebagai dalihnya–padahal sih misi utamanya ya itu tadi, menjadi peziarah sepak bola. Akhirnya, Mahir berhasil masuk di sebuah universitas di Swiss. Kenapa Swiss, tentu dengan berbagai pertimbangan Mahir. Tapi yang jelas kuncinya adalah dia sudah menjejak benua Eropa maka selanjutnya akan lebih mudah menjelajahinya.
Di Swiss, Mahir bertemu dengan temannya yang menahbiskannya sebagai seorang Homo Pedifollium–golongan manusia yang menuhankan sepak bola. Di Swiss, satu per satu pertandingan bola ditontonnya langsung di stadion, perlahan dia merambah negara lain seperti Spanyol, Jerman, Turki, dan Polandia. Dan dia tak sekadar jalan-jalan. Banyak hal, banyak perenungan, banyak pelajaran dia dapatkan sembari menyaksikan kemegahan stadion, kedua puluh dua kaki yang berebut si kulit bundar, atau bincang-bincang hangat dengan sesama homo pedifollium. Layaknya setiap pejalan merindu pulang, Mahir pun tiba juga di satu titik dia kembali merenungi kondisi sepak bola di tanah air sendiri, di kampung halaman sendiri.
Berkali-kali saya terkesima ketika membaca buku ini. Saya menikmati penuturan Mahir yang mengalir enak. Saya sekadar tahu nama Mahir sebagai novelis, tapi belum sempat mencicipi novelnya. Jadi ini adalah buku pertamanya yang saya baca. Membaca bagaimana Mahir mewujudkan mimpinya, membuat saya sadar bahwa kita harus punya kegilaan dulu terhadap sesuatu sampai hasrat untuk meraih mimpi itu menghinggapi kita. Salah satu cerita yang mengharukan adalah saat Mahir mengenang masa-masa dia harus nebeng nonton bola di sebuah warung makanan Aceh sederhana, karena dia tidak punya TV. Ngobrol hangat dengan dua bersaudara pemilik warung, sampai suatu saat Mahir bisa menginjakkan kaki langsung di Spanyol, di Stadion Santiago Bernabeu yang dulu sebatas dilihatnya di layar TV milik pemuda Aceh itu. Memang sih, saat mengharukan dari mengenang mimpi yang terwujud adalah saat ingat bahwa kita pernah sangat jauh dari kondisi mimpi itu. 🙂
Sepak bola adalah sebuah agama bagi penganutnya. Jatuh-bangun klub favorit, menang-kalah klub yang dibela, tidak pernah menyurutkan keimanan mereka akan klub tersebut. Mahir makin menyadari bahwa sepak bola adalah sebuah agama bagi kebanyakan masyarakat Eropa, tatkala mengetahui asal-usul seseorang bisa fanatik terhadap satu klub. Bukan karena kehebatan klub itu atau apa, melainkan karena garis kefanatikan yang diturunkan dalam keluarganya. Mirip seperti agama yang dianut seseorang, yang sebagian besar berasal dari agama orangtua mereka. 🙂
Meski dibilang bahwa ini bukan buku tentang bola, melainkan buku perjalanan, tetapi bagi saya buku ini lebih bisa dinikmati bagi para pencinta bola–atau setidaknya yang tahu sedikit-sedikit tentang bola. Karena banyak seluk-beluk tentang sepak bola yang diceritakan; sejarah, dukungan para suporter, masalah-masalah klub, dan printilan lain sampai filosofi yang terkandung di dalam sepak bola. Saya sendiri pernah suka banget nonton bola, dulu klub favorit saya adalah Juventus dan tim nasional favorit ya Italia. Itu masa-masa SMP sampai SMA, deh. Sekarang sih baru pas ada event besar saja yang melibatkan tim nasional Italia. Makanya saya lumayan bisa mengikuti buku ini. Saya merasakan greget yang diceritakan Mahir waktu nonton langsung di stadion, juga ngeh dengan filosofi kapan pergi (menyerang) dan kapan pulang (bertahan) yang ada di dalam sepak bola. Buat kamu yang tidak akrab dengan sepak bola, bolehlah menikmati buku ini, tapi barangkali akan ada beberapa bagian tentang detail dan sejarah sepak bola yang ingin kamu lewati. Setidaknya, saya ikut menawarkan buku ini karena cara bercerita penulisnya yang tidak kaku, sangat berkisah. 🙂
Sebuah kisah perjalanan yang menginspirasi, dan setelah ini saya pasti menjadwalkan untuk membaca salah satu novel dari Mahir. Selamat ya Mahir, untuk perjuanganmu meraih mimpi menjadi peziarah sepak bola dan juga mengisahkannya dalam buku, yang telah terwujud dengan apik. 🙂
Stars: 4 of 5.
*Tambahkan ke wishlist*
kalo boleh tahu, settingnya yahun berapa?
SMPnya juga tahun kapan?