Judul: People Like Us
Penulis: Yosephine Monica
Penerbit: Haru
[Pemenang kompetisi menulis 100 Days of Romance tahun 2013]
Genre: Remaja, sick literature, drama, romance, keluarga
Terbit: Juni 2014
Tebal: 330 Halaman
Cara dapat: hasil proofreading
Harga normal: Rp54.000,00
Apa jadinya kalau kau sudah tahu bagaimana akhir hidupmu? Atau, biar kuubah pertanyaanku; apa jadinya kalau kau sudah dapat menduga akhir dari kisah di dalam novel yang kau baca? Apakah kau akan melanjutkan membacanya, atau berpaling saja? Seseorang di dalam novel ini menantang kita untuk terus membaca tulisannya yang “tertumpuk di atas kertas”, meskipun pembaca mungkin sudah akan dapat mengira akhir dari ceritanya. Jadi, apa yang akan ia kisahkan mengenai seorang Amy dan Ben; dua remaja yang biasa-biasa saja, dengan petualangan petak umpet yang membelit mereka pada pertanyaan demi pertanyaan dan menggiring mereka pada perjumpaan satu ke yang lainnya?
Jika novel People Like Us dikategorikan ke dalam novel remaja biasa, ya, aku menyetujuinya. Sebiasa seorang Amy, remaja Amerika berusia dua belas tahun yang naksir pada Ben ketika berjumpa dengan cowok itu di sebuah kelas musik. Sebiasa cewek yang suka diam-diam, hanya dapat memandangi dan memperhatikannya tanpa mencolok. Sebiasa cewek yang begitu semringah ketika cowok yang disukainya memberinya sapaan singkat “Selamat Natal”. Sayangnya, Amy berpisah dengan Ben ketika ia tak menjumpai cowok itu lagi di kelas musik-kelas musik berikutnya. Amy banyak bertanya, ke mana perginya cowok itu? Dan ketika beberapa tahun kemudian mereka bertemu kembali, malah satu sekolah di SMA, Amy berusaha memutar kembali kenangan perjumpaan mereka dulu di depan cowok itu. Sayangnya, Ben sama sekali tak mengingatnya! Bahkan di hari-hari selanjutnya, Ben cenderung menghindari Amy karena tanpa sadar cewek itu sudah menjadi penguntit Ben! Astaga…. Padahal, Amy hanya ingin setidaknya, dapat menjadi teman bagi Ben. Sesukar itukah?
Hidup terus berjalan, Amy terus melangkah. Seorang cewek biasa, dengan penampilan biasa, namun memiliki hobi yang tidak biasa; menulis banyak cerita tanpa memiliki akhir. Cerita-ceritanya terus beredar ke seluruh penjuru sekolah dan banyak teman-teman menyukai tulisannya. Ben sendiri tak luput mendengar reputasi Amy sebagai penulis cerita tak terselesaikan. Dan pada suatu hari, semesta membuat kehidupan Amy tak lagi biasa, semenjak kanker limfa menyerang tubuhnya. Amy mendadak pergi dari sekolah, dan menggantungkan hidupnya pada ranjang rumah sakit. Teman-temannya prihatin, dan terutama Lana, sahabatnya, berusaha menghiburnya. Demi rasa kemanusiaan, Ben berhasil dibujuk oleh Lana untuk menjenguk Amy. Dan sejak saat itu, ada jengukan kedua dan seterusnya dengan satu hal sebagai pengikat mereka berdua; sama-sama suka menulis. Ben ingin, agar Amy mengajarinya cara menulis yang baik. Sementara Amy, hanya dapat berjumpa dengan Ben saja sudah merasa senang. Ia mati-matian berusaha menunjukkan bahwa ia bukan lagi seorang cewek yang menguntit Ben.
Dan lewat beberapa interaksi, Ben pun menyadari bahwa Amy tak seburuk itu. Ben tak lagi perlu dipaksa, bahkan suatu hari Ben tergerak sendiri untuk menghubungi Amy dan menanyakan kabarnya. Namun, kanker tetaplah kanker yang merenggut kekuatan Amy. Sekalipun ia sempat membaik dan keluar dari rumah sakit, kanker seperti tak mengizinkannya tersenyum terlalu lama. Amy, yang sudah dapat mengira akhir hidupnya, berusaha untuk setidaknya dapat terlihat di mata Ben. Sementara Ben, dengan tumpukan masa lalu yang membayanginya, mulai bimbang dengan perasaannya kepada Amy. Apakah mereka benar sekadar berteman?
Jadi, apakah kau sudah bisa menebak bagaimana akhir kisah Amy dan Ben ini? Apakah kau sudah dapat membayangkan adegan demi adegan yang terjadi di antara mereka berdua? Aku sendiri, pada awalnya kurang bisa menikmati ceritanya karena aku bukan penggemar narasi berkepanjangan. Cerita ini, kalau boleh kukatakan, disampaikan ala sebuah dongeng dengan sedikit dialog pada bab-bab awal. Namun, aku sudah memenuhi tantangan penulis untuk membaca kisahnya sampai akhir. Jadi, aku bersabar untuk terus membaca. Dan harus kuakui, itu bukanlah sebuah kesabaran yang sia-sia. Penulis manis sekali menyampaikan ceritanya. Sepertinya ia memang sengaja menumpuk emosi pembaca sedikit demi sedikit. Mengingatkanku lagi tentang seni menikmati sebuah novel tanpa terburu. Kronologis kehidupan Amy, pertemuannya dengan Ben, masa lalu keluarga Ben, dan harapan-harapan Amy semenjak ia tahu ia mengidap kanker, disampaikan dengan runut.
Aku suka ketika penulis mulai menggulirkan interaksi langsung antara Ben dan Amy, juga dialog-dialog mereka yang sederhana. Aku suka ketika mendapati Amy yang sakit tetapi tetap berusaha untuk tetap hidup normal. Ia tidak mau dikasihani, dan jika hidupnya memang pendek, ia selalu memilih untuk menanam perasaan baik kepada orang lain. Seperti kata-katanya, “Jika aku bisa memaafkan, kenapa aku harus membenci?” Banyak pelajaran moral baik yang penulis sampaikan melalui Amy. Dan Ben, seolah berkaca melalui Amy. Ben banyak terluka karena keluarganya, namun Amy secara tak langsung mulai membuatnya berpikir ulang tentang keluarganya.
Aku suka bagaimana orang-orang di sekitar Amy dan Ben berperan begitu baik dan pas bagi kedua orang itu. Lana, sahabat Amy, juga Zach dan Julian, kawan karib Ben. Andrea dan Timothy, kakak kandung Amy dan Ben, dan tentunya kedua orangtua mereka yang mengasihi tanpa batas. Salah satu adegan yang aku sukai di novel ini adalah ketika Amy menyapa singkat Ben lewat SMS, dan membuat Ben yang sedang di sekolah segera tergugah, karena sudah empat hari di rumah sakit Amy tak sadarkan diri. Selanjutnya, Ben mengabiskan waktunya duduk di dalam toilet sekolah untuk menelepon Amy, mengkhawatirkannya, dan berusaha menghibur Amy. Lalu ketika Amy hanya menceletuk meminta Ben mendatanginya yang sedang kebosanan di rumah sakit, Ben langsung menutup telepon dan bergegas mendatangi Amy! Wow, aku merasa Ben banyak berubah karena Amy.
Ah, jangan biarkan aku terlalu berceloteh hingga membocorkan keseluruhan cerita ini. Yang ingin aku katakan kepadamu adalah, mungkin ini bukan cerita yang baru di bawah langit ini, bukan pula cerita cinta yang penuh dengan pelukan dan genggaman tangan kedua insan. Namun, kesabaran penulis dalam menjalin cerita dan menanamkan bibit emosi, mampu membuat aku merasa sesak di akhir cerita. 🙂
Stars: 3 of 5
Note: Diikutkan pada Indonesian Romance Reading Challenge 2014
Salut bener pas tahu buku ini ditulis oleh remaja unyu semacam aku..
Jadi merasa bersalah *lirik wattpad
Salut banget sama Amy, soalnya bisa nyimpan rasanya ke Ben sebegitunya. Nyahaha. Aku suka alur yang dibikin Kak Yoseph, mengalir tanpa kecepetan atau terlalu lambat. Hehe.
Ini setoran aku ya, Kak: http://luqyanareviews.blogspot.com/2014/12/review-people-like-us-by-yosephine.html :))
setor review ^^ https://www.facebook.com/notes/fransisca-susanti/review-people-like-us-by-yosephine-monica/10203927564148444