Judul: Writer VS Editor
Penulis: Ria N. Badaria
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Metropop, Drama, Romance
Tebal: 312 Halaman
Terbit: Januari 2011
Cara dapat: Beli obralan titip Fadhilah, Rp10.000,00
Menjadi penulis buku mungkin adalah impian bagi sebagian orang, salah satunya adalah Nuna. Selama ini Nuna hanya berfokus untuk mencari penghidupan yang layak. Bekerja demi menghasilkan uang untuk kebutuhannya dan keluarga. Ia tinggal di rumah keluarga pamannya di Bogor sedari SMU. Dan setelah lulus, Nuna kembali ke Jakarta tinggal bersama keluarga intinya. Ia pun sempat menganggur dua tahun karena susah mencari kerja. Dan di masa menganggurnya ini Nuna menulis tiga naskah novel yang dikirimkan ke penerbit. Sayangnya, reaksi atas naskah-naskahnya adalah penolakan yang membuatnya putus asa. Nuna pun menerima tawaran pamannya untuk bekerja di sebuah toko swalayan di Bogor. Nuna melepas mimpinya sebagai penulis dan menerima realitas hidup, bekerja demi kebutuhan mimpinya. Namun, apakah mimpinya benar-benar telah kandas??
Jawabannya: tidak. Mimpi itu terbuka ketika Nuna menerima surat dari penerbit yang menerima naskahnya. Setahun setelah tinggal kembali di Bogor, jalan untuk menjadi penulis novel itu terbuka kembali bagi Nuna. Bersyukurnya lagi, penerbit ini pun memberikan sistem uang muka sebagai pembayaran naskah Nuna yang akan diterbitkan. Namun kita semua tahu, naskah tidak begitu saja menjadi buku tanpa proses penyuntingan. Dan, inilah kemudian konsekuensi yang akan dijalani Nuna dalam rangka mewujudkan cita-cita menjadi penulis: menghadapi seorang Rengga, editor yang bermasalah dengan yang namanya “kesabaran”. Nuna tidak memiliki banyak waktu di kesehariannya sebagai pegawai toko, tetapi Rengga pun tidak panjang sabar menghadapi Nuna yang susah dihubungi untuk revisi naskah. Nuna bahkan sempat memberikan nomor telepon orang lain sebelum akhirnya membeli handphone sendiri untuk berkomunikasi dengan GlobalBooks, penerbit yang menangani naskahnya. Di sinilah konflik itu bermula, ketidaksabaran Rengga berbuntut hal-hal lain yang membuat Nuna serbasalah dan kewalahan menghadapi sikap editornya.
Saat mulai membaca konflik antara Rengga dan Nuna, ada hal yang bikin saya merasa aneh. Masa iya editor mengandalkan berhubungan dengan penulisnya masalah revisi dengan percakapan di telepon, sehingga marah-marah ketika sang penulis nggak bisa dihubungi via telepon? Karena sepengalaman saya baik sebagai editor dan penulis, revisi ya dilakukan via E-mail. Kan bisa lebih detail. Tetapi rupanya, di sini Nuna memang menjadi pihak penulis yang bandel. Nuna sangat susah dihubungi dari mulai E-mail hingga telepon. Hm, okay, kesel juga sih ya jadi editor kalau dapat penulis yang kurang kooperatif. Heheu. Lalu, tindakan Rengga yang menyetujui usulan Radit untuk ngerjain Nuna yang bandel ini juga bikin saya jengah sendiri. Wah, bisa-bisa pembaca salah ngerti nih tentang profesi editor. Ada dua dialog yang saya catat mengenai hal ini:
“Sebelum kita pesan makanan, saya mau kasih tahu kamu bahwa setiap kali pertemuan di luar kantor untuk membicarakan isi tulisan, yang menanggung semua biayanya adalah penulis.”
“Yang seperti ini baru bisa disebut berbagi, jadi editor bisa menikmati sedikit honor penulisnya.”
Oh astaga, ini editor kurang ajar banget ngerjain penulisnya!! >.< Sebelum kalian yang bakal jadi penulis jadi ketakutan gara-gara ini, pengin bilang aja kalau nggak ada itu yang namanya editor dan penulis ketemuan harus penulis yang bayarin konsumsi, apalagi di situ konteksnya si editor yang meminta ketemu jadi malah penerbit yang harus menjamu dong. Lalu, dialog kedua, aduh kesannya editor apa banget gitu malakin si penulis! Editor kan memang dibayar oleh penerbit untuk membenahi naskah para penulis, jadi nggak ada ceritanya penulis wajib menyisihkan pendapatan dari menulisnya buat editor. Yah kalau sebagai ucapan terima kasih memang wajar, tapi kok si editor kelihatan pamrih gituuu.
Sikap Rengga memang bikin emosi, huhu, tapi agak bisa dipahami sih karena Rengga sudah telanjur kesal karena Nuna yang susaah banget buat dihubungi untuk revisi. Padahal naskah Nuna bukan satu-satunya kerjaan yang harus dituntaskan oleh Rengga, kan. Oh ya ada dua dialog lagi dari Rengga yang bikin jengkel mengenai cara kerja editor:
“Maaf, sekarang bukan jam kerja saya, dan saya bukan tipe orang yang mau membicarakan masalah pekerjaan selain pada jam kerja.”
“kalau kamu nggak mau membahas masalah tulisan dengan cara seperti ini (ketemu dan nraktir si editor), pastikan kamu selalu menerima semua telepon dari saya! Kamu ngerti, kan?”
Dialog yang pertama, itu karena Nuna balik menelpon Rengga saat malam hari dan Rengga menolaknya. Duh, editor kok nggak mau fleksibel sama sekali masalah waktu gitu. Masalahnya penulis juga kan kerja di siang hari!! Lalu yang kedua, alih-alih harus bisa menerima telepon si editor kapan saja, kenapa nggak Rengga meminta Nuna rajin ngecek E-mailnya? Again, kenapa harus mengandalkan komunikasi via telepon dan saat jam kerja? Huaaa… hahaha! 😀 Teman-teman, sekali lagi pengin bilang ini sih Rengga-nya yang susah kompromi jadinya ya. Nggak semua editor seperti itu, kok. Well sebenarnya kalau menyimak latar belakang kenapa Rengga kurang sepenuh hati gitu jadi editor, bakal lebih maklum sih. 😀
Oke, jadi sudah lumayan tergambarkan yaa hubungan antara penulis dan editor ini benar-benar nggak harmonis. Gimana naskahnya bisa selesai dengan baik dong ya kalau begitu? Tapi kemudian ada suatu waktu dan kejadian yang bikin mereka lebih toleran satu sama lain dan bahkan jadi… dekat. Nuna juga nggak selamanya digambarkan jadi tokoh yang tertindas. Sejak kehadiran Arfat, pahlawan di masa remajanya, Nuna jadi bisa tersenyum lagi. Arfat membuat hari-hari Nuna menjadi penuh cinta lagi. Arfat yang sempat terpisah selama enam tahun karena kuliah di Australia, kembali datang dan malah mendekati Nuna. Arfat dan Nuna jadian. Happy ending.
Hehehe, nggak dong, nggak sesingkat itu. Gimana dengan Rengga yang sudah putus dengan Marsya dan mulai tertarik pada Nuna? Gimana dengan perasaan hati Nuna sendiri kala sang pangerannya menyatakan cinta tetapi entah kenapa hatinya tak lantas terisi penuh karena pernyataan itu? Lalu apakah tanda “VS” di judul ini akan selamanya menggambarkan dua hati yang tak akan pernah bersatu?? Baca kelanjutannya di novel ini yaa. 🙂
Tiga setengah dari lima bintang saya sematkan untuk novel ini. Konfliknya sederhana, tapi entah kenapa nyaman saja bacanya. Nggak meledak-ledak, tetapi tetap bisa dinikmati. Memang di beberapa bagian kerasa kalimatnya kaku saat dibaca, makanya tidak bisa menggenapkan menjadi empat bintang. Well overall, I like the story. Mengenai karakter utama, bisa dibilang sama rata sih, saya nggak bisa menunjuk mana yang paling favorit. Tapi justru yang paling kuat ya sosok Marsya yang antagonis meski perannya nggak banyak-banyak amat, tetapi tiap kemunculannya menimbulkan kesan yang kuat. Oh ya, sama Radit, sahabat Rengga yang suka kepo sama urusan Rengga. Lumayan berisik, tetapi perannya banyak membantu Rengga untuk “bergerak”. Justru pemeran-pemeran pendukung ini yang kesannya malah kuat bagi saya. 😀
Note: diikutkan dalam Indonesian Romance Reading Challenge 2014
Pingback: Joining Indonesian Romance Reading Challenge 2014 (!!) | Dinoy's Books Review