Ada yang sudah baca buku Titik Nol ? Saya membaca buku setebal lima ratusan halaman ini dan dibuat tercengang dengan setiap pengalaman penulis yang dituturkan dengan gaya naratif ala fiksi. Tapi ini bukan cerita fiksi, namun nyata. Seorang Agustinus Wibowo memaparkan Safarnama-nya dalam perjalanan kehidupannya di China, Afganistan, India, beberapa negara lain, lalu berujung dan bermula pada ‘pulang’. Tergugah pada setiap penuturan kisah hidupnya tersebut, saya pun mencoba mengajukan delapan pertanyaan baginya tentang buku, proses penulisan, dan tentunya makna perjalanan itu sendiri. Jika saya merasa terinspirasi dengan setiap jawabannya, maka bukan tidak mungkin jika kamu pun juga. Mari menyesapi penuturan dari Agustinus Wibowo, sekelumit tentang hidupnya…
Hai kak Agustinus! Terima kasih untuk kesediaannya ditanya-tanya via E-mail. 🙂 Jadi kalau boleh diceritakan, kak Agustinus itu jadi penulis apa pejalan duluan, sih? Sejak kapan mulai menggeluti dunia kepenulisan dan mulai pergi ke tempat-tempat asing?
Jadi pejalan dulu. Saya pertama kali melakukan perjalanan secara independen pada tahun 2002, saat masih menjadi mahasiswa di China. Awalnya saya tidak terlalu terbiasa menulis, tetapi setiap kali melakukan perjalanan, saya merasa setiap memori dalam perjalanan itu harus saya catat supaya bisa terus-menerus saya ingat. Dari ide itulah berawal kebiasaan saya mencatat buku harian saya setiap hari selama saya berada di jalan, dan saya melihat banyak backpacker pada zaman itu yang mempunyai kebiasaan serupa. Hingga saat ini, saya masih menyimpan buku-buku kumal yang berisi tulisan saya saat melakukan perjalanan di Pakistan, Afghanistan, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan sebagainya sejak tahun 2002 itu, dan ternyata setiap catatan itu terbukti menjadi bahan yang sangat berharga di hari ini.
Sebagai seorang penulis perjalanan (non fiksi), tulisan-tulisan kak Agustinus lebih bersifat naratif, bahkan cenderung seperti fiksi penulisannya. Adakah buku dan penulis tertentu yang mengilhami cara penulisan kak Agustinus ? Kenapa, tuh?
Memang cara kita menulis dan berpikir juga sering kali dipengaruhi oleh buku yang kita baca. Saya mulai mengenal dunia buku perjalanan sesungguhnya justru saat saya berada di perjalanan. Saat itu saya berada di India, dan teman baik saya dari Malaysia (Lam Li, saya menulis tentangnya dalam buku Titik Nol) memperkenalkan saya pada buku-buku perjalanan yang menurutnya wajib saya baca. Semula saya tidak percaya diri bisa membaca buku bahasa Inggris, karena penguasaan bahasa Inggris saya saat itu masih sangat minim. Tetapi saya langsung jatuh cinta dengan buku VS Naipaul yang direkomendasikan Lam Li, yang berjudul Among the Believers. Buku ini berkisah tentang perjalanan Naipaul ke negara-negara Muslim pada tahun 1970an, termasuk ke Indonesia. Tak jarang saya terpaksa mengangguk-anggukkan kepala saat Naipaul menceritakan soal Indonesia, melihat Indonesia dari sisi yang tidak pernah saya lihat selama ini. Gaya penulisan Naipaul mengalir begitu lugas, dengan kata-kata yang sederhana tanpa membuat saya sibuk mencari kamus atau mengerutkan kening, deskripsinya begitu hidup, pandangannya kritis terkadang naif, serta membuat saya berpikir dan merenung. Itulah kualitas buku perjalanan yang selalu saya cari, terutama bagaimana cerita perjalanan penulis yang sangat personal itu bisa menjadi refleksi buat saya dalam melihat dunia maupun melihat diri saya sendiri.
Aku membaca buku kak Agustinus yang Titik Nol. Dan aku tercengang saat membacanya, napasnya kerasa banget dan serasa ikut deg-degan dalam petualangan kak Agustinus. Dan aku baca di keterangan dari penulis, kalau buku ini memerlukan waktu beberapa tahun untuk menyusunnya. Boleh diceritakan lagi secara singkat proses penulisan Titik Nol dari awal sampai akhir?
Penulisan Titik Nol sebenarnya bermula dari catatan buku harian Safarnama yang rutin saya tulis selama di perjalanan, mulai dari tahun 2005 hingga 2007. Tulisan-tulisan yang semula dalam bahasa Inggris ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat secara rutin di rubrik Petualang di Kompas.com (http://travel.kompas.com/petualang) pada tahun 2008, dan karena rubrik ini sangat digemari pembaca, maka tebersit ide untuk membukukannya.
Proses penulisan buku Titik Nol sendiri sudah dimulai sejak Selimut Debu (buku pertama saya) terbit, dan draft-nya awalnya sudah ada jauh sebelum terbitnya buku Garis Batas (buku kedua saya). Di samping ibu saya yang sakit keras, saya membacakan catatan-catatan Safarnama ini, lembar demi lembar. Baru pada tahun 2011, saya memulai lagi penulisan ulang naskah Titik Nol ini dengan ide memasukkan cerita perjuangan ibu saya melawan kanker di samping cerita perjalanan saya sendiri yang terpaksa harus pulang demi berbakti pada ibunda.
Awalnya tulisan ini sangat kronologis, yaitu bercerita bagaimana saya berangkat, kehidupan di jalan hingga pulang, dan hingga hari-hari di rumah sakit. Selama satu tahun penuh saya menuliskannya, saya merasa lelah sekali, dan memang tulisan kronologis itu sangat mudah membuat bosan.
Baru pada tahun kedua, tepatnya awal Januari 2012, setelah menulis ulang 15 kali dan selalu gagal, tiba-tiba saya mendapat ide untuk menggabungkan dua plot secara paralel, yaitu plot perjalanan di negeri-negeri jauh dengan plot perjalanan ibu saya di atas ranjang rumah sakit. Saya rasa inilah satu-satunya solusi yang mungkin untuk tulisan ini. Ini ide radikal buat saya, sesuatu yang sama sekali baru. Tentu saja banyak tantangan dalam hal teknisnya, apalagi untuk penulisan non-fiksi dengan teknik yang biasanya lebih lazim digunakan oleh karya fiksi ini. Kebetulan Lam Li yang saat itu berada di Beijing sangat antusias dengan ide ini, dan terus menyemangati saya untuk terus mencoba, juga membantu saya mencari ide untuk menyambung plot-plot yang tercerai berai (prosesnya seperti menyusun puzzle dari serpihan memori!). Sementara co-editor yang ikut berperan dalam pembuatan buku Selimut Debu dan Garis Batas memilih mundur dari proyek ini.
Ternyata saya masih butuh waktu sekitar setahun lagi, yaitu sepanjang tahun 2012 hingga awal 2013 untuk benar-benar merampungkan naskah ini menjadi tulisan yang utuh. Total proses penulisan ulangnya sampai lebih dari 20 kali (saya sampai kehilangan hitungan angka pastinya), dibaca ulang sebanyak lebih dari 60 kali, dengan rata-rata jam kerja harian 6 jam 42 menit (saya mengerjakannya tentunya di luar jam kantor), dan rekor harian saya dalam proses menulis Titik Nol ini adalah 10 jam 15 menit.
Di Titik Nol juga diikutsertakan cerita keluarga dari kak Agustinus. Boleh diceritakan nggak, pergumulan batin kak Agustinus saat menuangkan kisah pribadi keluarga di buku ini? Bagaimana tanggapan keluarga saat tahu beberapa masalah dalam keluarga akan dibukukan?
Ini adalah bagian yang cukup berat dalam penulisan buku Titik Nol ini, selain teknis penggabungan dua cerita yang berbeda menjadi satu cerita utuh. Kesulitan pertama adalah menuliskan soal perjuangan ibu saya melawan kanker hingga kematian beliau—sebuah memori yang saya lebih memilih untuk melupakannya, tetapi mau tidak mau harus saya hadapi saat menulis buku ini. Berhadapan dengan diri sendiri ternyata sangat menyeramkan, jauh lebih menyeramkan daripada petualangan di Afghanistan. Terkadang dalam 8 jam penuh duduk di depan komputer untuk menulis, saya hanya mampu menghasilkan 1 paragraf.
Kesulitan kedua adalah sejauh mana kita membuka diri kepada pembaca? Kalau kita tidak cukup membuka diri, pembaca akan merasa penulis kurang jujur. Sedangkan kalau berlebihan, banyak fakta yang sebenarnya pembaca tidak perlu dan tidak ingin tahu, justru akan menimbulkan efek “Okay, so what?” atau “Emang-Gue-Pikirin?” di hati pembaca. Dalam penulisan memoar, perlu pertimbangan yang sangat matang bagi penulis untuk menentukan bagian-bagian mana saja yang harus ditulis atau tidak ditulis.
Tantangan ketiga tentunya adalah dari keluarga. Selama proses penulisan, saya selalu berkonsultasi dengan ayah saya, juga melakukan wawancara kepada orang-orang yang terlibat dalam perjalanan ibu saya. Sejumlah konflik penting terpaksa disamarkan, mengingat orang-orang yang berkaitan masih hidup dan bisa memengaruhi hidup mereka. Beberapa nama juga terpaksa disamarkan. Saya juga berusaha menuliskan setiap konflik keluarga ini dari sudut yang paling berimbang, tanpa keberpihakan.
Syukurlah, setelah buku ini terbit, anggota keluarga yang sempat membaca Titik Nol juga cukup puas dengan hasil tulisan ini.
Aku memang telah membaca makna perjalanan menurut kak Agustinus dari buku Titik Nol, dan buatku itu menginspirasi sekali. Tapi boleh dituangkan lagi ya, anggap saja kak Agustinus diminta untuk membuat seseorang tertarik melakukan perjalanan dengan segala plus-minusnya. Apa yang akan kak Agustinus sampaikan tentang kenapa sih kita harus melakukan perjalanan ke tempat-tempat asing?
Perjalanan pada awalnya buat saya adalah cara untuk melihat dunia luar. Saya memulai perjalanan sebagai sebuah petualangan, proses untuk mengalahkan ketakutan-ketakutan saya. Kemudian dari situ muncul ambisi-ambisi yang lebih tinggi, keinginan untuk menaklukkan tantangan-tantangan berikutnya. Di saat itu, saya bermimpi untuk melakukan perjalanan akbar, perjalanan keliling dunia selama bertahun-tahun tanpa henti.
Hidup di jalan selama bertahun-tahun tentunya berbeda dengan apabila kita melakukan perjalanan hanya untuk mengisi liburan. Pada awalnya, kita belajar untuk mengikis ego, karena di jalanan kita bukan lagi siapa-siapa. Namun pada akhirnya, kita justru akan berhadapan dengan kemanusiaan kita sendiri, menjadi bagian dari umat manusia, dan melihat cermin diri kita di mana-mana. Itulah sebenarnya proses magis dari sebuah perjalanan.
Seperti kata filsuf China: “Seseorang baru menyadari betapa indah perjalanan panjang yang telah dia lalui, setelah dia pulang ke rumahnya dan membaringkan diri di atas kasur dan bantal tuanya.” Makna tertinggi dari perjalanan adalah pulang, saat kita menemukan kembali makna “rumah”, tentunya dari sudut yang sama sekali berbeda.
Ketika kita melihat hakikat dari semua perjalanan panjang itu adalah untuk kembali ke titik awal, lalu masihkah perlu kita melakukan perjalanan? Tentu! Karena yang penting dari perjalanan bukanlah tentang tujuannya, tetapi lika-likunya. Lika-liku perjalanan itulah yang mengajarkan kita untuk melihat realita diri kita sendiri.
Setelah melahirkan Titik Nol, untuk selanjutnya apakah kak Agustinus tetap melanjutkan menulis dengan gaya yang sama atau ingin mencoba gaya yang berbeda?
Tentu semua buku harus membawa kejutan. Saat saya menulis Garis Batas, dari segi penulisan dan teknik sudah sangat berbeda dari Selimut Debu, dan pada Titik Nol saya melakukan perubahan radikal dengan teknik yang sama sekali baru buat saya. Tentu keinginan saya dalam setiap karya saya adalah proses bertumbuh dan belajar, di mana karya berikut harus lebih baik dan lebih segar daripada karya sebelumnya.
Lalu, bagaimana dengan Afrika? Apakah kak Agustinus akan melanjutkan menuju ke sana sebagai destinasi impian kak Agustinus?
Destinasi itu sudah tidak penting lagi. Yang terpenting adalah rasa dan pemaknaan. Kita bisa melakukan perjalanan di mana-mana, mau ke Afrika, Timur Tengah, di kampung sendiri, atau bahkan di dalam rumah kita sendiri. Sekarang buat saya yang pulang ke Indonesia, bahkan tinggal di Jakarta adalah sebuah petualangan baru, dan saya menikmati proses ini.
Jika perjalanan dapat dikatakan sebagai sebuah proses yang membentuk karakter dan pribadi kita, pembentukan karakter seperti apa sih yang paling kak Agustinus rasakan setelah melakukan banyak perjalanan?
Perjalanan membuat saya belajar untuk berpikir dari berbagai sudut pandang.
Terima kasih banyak, kak Agustinus… Sebagai penutup, silakan kak Agustinus menyampaikan apa pun untuk teman-teman pengunjung blog. Boleh apa aja, silakan….
Perjalanan adalah untuk melihat ke luar dan melihat ke dalam. Mari bersama memaknai perjalanan!
Terima kasih banyak, Dini.
Saya semakin yakin, bahwa sebuah karya yang menyentuh hati banyak orang haruslah dikerjakan dengan hati pula dan penuh kesungguhan. Tidak ada proses instan, terburu-buru, atau ambisi agar orang banyak segera membaca kisah kita. Karena pada akhirnya, seperti apa yang telah dilakukan oleh seorang Agustinus Wibowo, dirinya sendiri pun terbentuk dan mengalami proses yang tidak sebentar saat menghasilkan sebuah karya hebat seperti Titik Nol. Karya yang menginspirasi, lahir dari sebuah bentuk perjuangan hidup. 🙂 Kak Agustinus Wibowo dapat ‘dibaca’ lebih dalam lewat 2 buku lainnya yaitu Selimut Debu dan Garis Batas. Kunjungi pula domain pribadinya di agustinuswibowo.com dan temuilah keramahannya di akun twitter: @avgustin88. 🙂 Selamat terinspirasi!
[foto-foto perjalanan Agustinus Wibowo adalah koleksi pribadinya sendiri, digunakan seizin penulis.]
interview yg bikin merenung, walau suka jalan2 tapi saya jarang jalan2. Orang dalam lingkungan sekitarku lebih tipikal tipe yg praktis dan secure (tipe yg berpikir drpd uang buat jalan2 lebih baik buat beli rumah dan material lain macam emas. Daripada beli buku lebih baik beli gadget atau baju karena bisa gaya) gpp sih karena itu sangat normal dan logis, but somehow I wish I have friends or family yg bisa diajak berdiskusi soal makna hidup.
Kasih jempol untuk interviewnya 🙂 Bang Ming ini memang rendah hati.
bilanglah saya norak atau kudet…tapi asli lho baru tahu bang Agustinus dari interview mbak Dini…jadipenasaran sama buku2nya. Sayang sekali saya melewatkan salah satu penulis hebat Indonesia..