Saya pertama mengenal karya Windy Ariestanty lewat buku travelogue nonfiksi-nya yang berjudul Life Traveler (Gagas Media). Kumpulan cerita dari perjalanan yang ia lakukan selama kurun waktu beberapa tahun, ke tempat-tempat yang berbeda dan menemui manusia-manusia berbeda dengan segala keistimewaannya. Lalu, tulisannya yang kedua saya baca di proyek Gagas Duet (bersama Valiant Budi), yaitu Kala Kali. Di buku ini, Windy (akrab juga dipanggil ‘W’) menuliskan novela berjudul ‘Bukan Cerita Cinta’. Kedua tulisannya ini memukau dan mencuri perhatian saya. Tidak hanya menghibur, melainkan juga memberikan perspektif baru. Jadi, saya pun berpikir bagaimana kalau saya coba bertanya tentang seluk beluk seorang Windy Ariestanty dengan dunianya sebagai penulis, sekaligus seorang editor? Mau menyimak juga? 🙂
Hai Kak Windy…. Aku mau tanya-tanya, ya. Dari dua profesi yang melekat pada diri Kak W sekarang, mana sih yang lebih dulu Kak W lakukan: menulis atau mengedit buku? Bisa diceritakan juga, ya, awalnya kak Windy menggeluti dua profesi ini dan tantangannya masing-masing. 🙂
Menulis. Saya sudah menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Membuat dongeng-dongeng yang harus saya bacakan ke nenek saya. Dongeng-dongeng itu juga saya bacakan ke anak-anak tetangga yang bermain dengan saya setiap sore. Aturan dari nenek saya, saya baru boleh bermain pada sore hari bila sudah membacakan satu cerita tanpa tersendat kepada nenek saya.
Saya tertarik dengan dunia editing sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Gara-garanya, tulisan saya di majalah sekolah dan di mading sekolah—keduanya–dibredel. Majalah sekolah ditarik, majalah dinding (mading) sekolah diturunkan. Jarak terbit antara dua tulisan di majalah dan mading tak lama. Hal ini mengakibatkan saya harus bolak-balik dipanggil oleh kepala sekolah dan rutin menemui guru BP (Bimbingan Penyuluhan) karena di bawah pengawasan sekolah. Hukuman atas ‘keributan’ yang saya buat waktu itu adalah saya dilarang menulis untuk majalah dan mading. Selama satu tahun saya dihukum hanya boleh mengedit tulisan-tulisan teman-teman saya yang akan terbit. Selama menjalani proses hukuman inilah saya belajar mengedit. Tidak membosankan sama sekali, berbeda dengan dugaan saya di awal. Ketika belajar soal editing ini saya paham, saya bisa menulis dengan lebih baik bila saya paham bagaimana mengedit sebuah tulisan agar menjadi lebih baik.
Ketika duduk di bangku kuliah, saya aktif di pers kampus dan apa yang dulu saya pelajari soal penyuntingan secara otodidak ternyata sangat berguna. Sewaktu kuliah saya juga bekerja sebagai wartawan di dua buah portal berita yang berpusat di Jakarta. Sebelum saya mengirimkan tulisan-tulisan saya kepada pemimpin redaksi, saya terbiasa mengedit sendiri tulisan tersebut. Mulai dari jumlah kata hingga angle yang saya pilih untuk tulisan-tulisan atau berita-berita yang saya kirimkan. Kebetulan, saya juga menjabat sebagai pemimpin redaksi sebuah majalah fakultas dan majalah dinding di kampus saya. Posisi ini tentunya menuntut saya mampu menilai dan mengedit tulisan-tulisan yang akan diterbitkan.
Buat saya menulis dan mengedit adalah dua hal yang berbeda tetapi saya geluti dengan sama intensnya. Karena untuk bisa menjadi penulis yang baik saya harus bisa mengedit, dan untuk bisa mengedit dengan baik, maka saya pun harus paham tulisan yang baik itu seperti apa.
Tantangan kedua profesi ini tentunya berbeda. Sebagai penulis, tantangan saya adalah bagaimana bisa terus menulis dan setiap kali menulis saya mampu menjadi lebih baik. Sebagai editor, saya harus menemukan apa yang menjadi keunggulan dan memunculkan apa yang menjadi kelebihan sebuah tulisan, seperti mengasah berlian yang belum jadi. Editor yang baik akan mampu membuat sebuah naskah bersinar dan menemukan apa yang menjadi kelebihan penulis tersebut. Buat saya, yang paling menantang dari pekerjaan saya sebagai editor adalah menemukan dan melahirkan penulis-penulis baru yang baik. Saya selalu senang bila ada penulis baru yang lahir.
Satu ketika saya diwawancarai oleh sebuah majalah, ‘Apa tolok ukur editor yang sukses dan hebat menurut Anda?’. Saat itu saya menjawab, ‘Saya tak punya tolok ukur karena keduanya tak penting buat saya. Namun, ada satu hal yang akan selalu saya pastikan, saya terus berproses menjadi editor yang baik. Itu jauh lebih penting.’
Sebagai seorang editor, Kak W tentunya dituntut untuk jeli membaca naskah. Gimana, sih, cara Kak W untuk dapat menilai suatu tulisan dengan objektif? Misalnya, nih, ada tulisan yang ‘nggak Kak W banget’ tapi akhirnya tetap diloloskan untuk terbit karena untuk segmen tertentu, cerita tersebut memenuhi kriteria layak terbit.
Editor harus bisa berpijak di dua sisi: sisi industri dan sisi idealis. Saya tidak bekerja untuk apa yang saya suka. Saya bekerja untuk apa yang ingin dibaca oleh pembaca. Bila ternyata naskah tersebut bagus dan saya suka (sesuai selera pribadi), itu bonus yang luar biasa menyenangkan untuk saya. Bila ternyata itu bukan jenis bacaan yang saya suka tetapi bagus, maka saya pun akan tetap menanganinya dengan kemampuan terbaik yang saya punya.
Seorang editor tidak bisa memilih naskah. Buat saya, semua naskah itu adalah kelas saya, pelajaran saya. Pun ketika saya mendapat naskah yang secara penulisan buruk tetapi temanya berpotensi, maka sebagai editor, tugas sayalah mendampingi penulis agar ia bisa menulis dengan lebih baik dan mengeluarkan kemampuan terbaik yang ia miliki.
Sama seperti orangtua, ia tak bisa memilih anak macam apa yang dikandungnya. Namun, sebagai orangtua, ia memastikan menjadi orangtua yang baik dan merawat anak tersebut, membesarkannya dan memastikan ia menjadi dan mendapatkan yang terbaik. Seperti itulah seorang editor.
Ketika sedang menulis, biasanya Kak W termasuk orang yang ‘mencari mood’ atau ‘menciptakan mood’? Gimana cara Kak W untuk tetap konsisten menulis meski sedang dalam mood jelek?
Saya termasuk dalam golongan orang yang tak percaya mood. ‘Lagi nggak mood atau writer’s block’ itu hanyalah alasan yang kita ciptakan agar kata lain dari ‘malas’ terdengar lebih keren.
Menulis selamanya persoalan yang berkaitan dengan disiplin. Untuk seorang penulis, tidak menulis adalah liburan dan yang namanya liburan itu menyenangkan. Saya tahu itu. Namun, tulisan tak akan pernah selesai kalau kita melulu berkilah soal ketidakdisiplinan/kemalasan kita. Menulis itu profesi yang berat, loh, dan bukan buat mereka yang pemalas.
Di novela ‘Bukan Cerita Cinta’ (Kala Kali), aku awalnya sempat mengira kalau Bumi adalah gambaran Kak Windy versi pria, karena dia juga adalah seorang editor. Lalu, ada tokoh Komang yang ternyata ciri-cirinya juga seperti kak Windy: suka mengenakan pakaian berwarna hitam, dan menggemari street photography pula. Sebenarnya kalau boleh diceritakan, gimana sih proses Kak Windy membangun karakter di KalaKali ini? Adakah tokoh-tokoh di dunia nyata yang turut kak W libatkan untuk menciptakan mereka?
Sebenarnya, bukan urusan saya sebagai penulis memikirkan soal dugaan-dugaanmu atau pembaca yang lain tentang karakter-karakter di dalam Kala Kali. Pembaca menduga-duga, ya, silakan saja menduga-duga. Menduga-duga menciptakan ruang percakapan di pembaca. Dan itu hal yang menarik buat saya sebagai penulis. Menarik, tapi tak ingin saya urusi. Tugas saya membuat karakter yang paling nyata dan masuk akal, yang bisa mereka lihat dan temukan di dalam kehidupan sehari-hari. Selebihnya, siapa pun bebas menduga-duga.
Bagaimana bila dugaanmu itu dibalik, bahwa untuk menghidupkan dan mengetahui bagaimana karakter-karakter itu bertindak dan menjalani hidup, maka saya mencoba menjalankan dan mempelajari apa yang dipelajari oleh karakter-karakter itu di keseharian? Bagaimana bila seperti itu?
Bagaimana untuk tahu apa itu street photography, maka saya belajar street photography agar mampu mengerti apa yang dipikirkan tokoh tersebut mengapa ia menyukainya?
Yang bisa saya katakan, saya mencoba membuat karakter-karakter di dalam Kala Kali serealistis mungkin. Senyata mungkin. Semasuk akal mungkin. Dengan begitu tokoh-tokoh itu adalah manusia-manusia yang memang bisa kita temui sehari-hari.
Apakah ada orang-orang di dalam kehidupan sehari-hari yang menginspirasi? Karakter-karakter manusia di dalam Kala Kali bisa kamu temui dalam kehidupan sehari-harimu, bahkan mungkin di dalam dirimu sendiri.
Jika boleh memihak, pada siapakah Kak W menempatkan karakter yang paling disukai di novela Bukan Cerita Cinta? Apakah Bumi, Akhsara, Komang, atau tokoh lainnya? Dan kenapa?
Saya mencintai mereka semua. Saya tak mungkin berpihak. Ini sama saja seperti kamu meminta orangtuamu menyebutkan anak mana yang paling ia sayangi. Dan itu seperti pedang bermata dua.
Haha, iya bener juga, sih^^. Nah, sekarang mengenai buku non-fiksi ‘Life Traveler’. Ini adalah salah satu travelogue yang benar-benar menggugah kesadaranku untuk memandang makna traveling dari sisi lain, yaitu sisi humanis. Bisa diceritakan, bagaimana Kak W berbaur dengan manusia-manusia di setiap perjalanan Kak Windy, dan meramunya menjadi cerita yang tak kalah menarik dengan drama fiksi?
Hanya jadi manusia seperti biasanya. Hanya perlu menjadi diri saya sehari-hari. Berbicara, berkomunikasi, dan mengamati.. Penulis yang baik, adalah pengamat yang baik. Segala sesuatu di sekeliling saya adalah cerita, Segala sesuatu di sekitar saya berkisah. Saya bukan orang yang terobsesi menceritakan hal-hal luar biasa dengan cara-cara yang luar biasa juga. Buat saya, hal sesederhana apa pun seharusnya mampu diceritakan oleh penulis dengan cara menarik, mampu melihat dan menuliskannya dengan cara tak biasa. Dan itu yang membuat tulisan menjadi berkesan. Sederhana tak pernah begitu-begitu saja. Itu tantangan menjadi penulis, setidaknya buat saya.
Misalkan saat ini saya ada di sebuah ruangan kosong yang berdinding putih polos. Hanya ada satu jendela di sana. saya yakin saya tetap akan ada banyak hal yang bisa saya lihat dan tuliskan dari dalam ruangan itu. Penulis yang jeli akan mampu menemukan kisah untuk diceritakan, tak peduli di mana pun ia berada.
Jika diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan lagi bersama salah seorang dari tokoh yang Kak W tuliskan dalam Life Traveler, boleh disebutkan siapa, dan perjalanan seperti apa yang kak Windy ingin lakukan bersamanya?
Mathew alias Matt. Kami terus berkomunikasi sampai sekarang. Drop a line or two on fb or twitter. Dan kami berjanji suatu hari akan melakukan perjalanan bersama. Tahun lalu sempat janjian bertemu di Jepang karena ia kebetulan akan ditugaskan di sana. Sayang, wilayah penugasannya berubah sehingga rencana itu belum bisa dijalankan.
Saya tak punya rencana perjalanan macam apa yang ingin saya lakukan bersamanya. Saya dan dia hanya ingin bertemu kembali dan menghabiskan waktu kami seperti dulu, main dan mengobrol apa saja seperti dulu. Mungkin juga berebutan butir M&M yang berwarna biru. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan.
Saya tak bisa menjawab pertanyaanmu soal perjalanan macam apa yang akan saya lakukan bersamanya. Saya tak pernah merencanakan perjalanan-perjalanan saya akan macam apa selama ini. Saya hanya ‘bersedia’ mengalami apa saja di dalam perjalanan saya.
Terakhir, adakah ramuan jitu yang harus dimiliki oleh seorang penulis untuk menghasilkan karya yang layak terbit? Atau, cara penulisan seperti apa, sih, yang paling Kak W anggap efektif?
Ini dua pertanyaan berbeda. Saya akan menjawab sesuai pertanyaan. Yang pertama: yang layak terbit adalah yang memenuhi kriteria terbit si penerbit atau media yang disasar. Dan pastinya setiap media memiliki standar yang berbeda.
Cara penulisan yang efektif? Tak ada cara penulisan yang efektif buat saya. Cara bisa beragam, teori tentang menulis itu segambrengan, tapi yang membuat tulisan menjadi kian baik adalah kekerapan kita menulis. Semakin sering kita berlatih menulis, maka akan semakin baik tulisan kita.
Wah.. terima kasih sekali untuk jawaban-jawabannya, Kak Windy! Aku jadi belajar juga tentang profesi penulis dan editor, dan semoga juga teman-teman yang membaca tanya-jawab ini juga merasakan manfaatnya. Sukses selalu untuk Kak Windy, dan selalu ditunggu berbaginya lewat kicauan twitter di akun @windyariestanty. 🙂
Nah, untuk teman-teman yang ingin membaca lebih banyak tulisan Kak Windy selain lewat bukunya, dapat juga menengok web www.windyariestanty.com dan juga blog www.windy-ariestanty.tumblr.com. Terima kasih untuk semua yang sudah membaca interaksi dengan penulis ini… ^_^
Huwwaaa senangnya bisa melihat sisi lain dari Kak Windy, makasih buat wawancaranya ya Kak Dini ^^.
Hei, sama-sama! Thx to kak Windy dong udah sempetin jawab2 pertanyaanku.. hehe, aku jadi banyak belajar juga. 😀