Hai Author! kali ini bagi saya sedikit spesial, karena saya sudah lama menunggu jawaban dari penulis buku-buku perjalanan ini. Dia adalah seorang kawan, penggugah hasrat traveling saya, juga sekaligus bisa dibilang inspirasi dalam hal saya menggeluti travel writing. Ariyanto, atau biasa dipanggil Ariy.. sudah menulis dan menerbitkan delapan buku perjalanan. Dimulai dari buku panduan saat dia traveling ke negara China, lalu buku terbarunya yang cukup melarutkan emosi saya, Nomadic Heart. Maka saya pun mengajukan delapan pertanyaan padanya secara tertulis. Sekaligus diskusi dan pembelajaran bagi saya. Mari menyimak … 🙂
Hai mas Ariy! Senang sekali, nih, bisa mengajukan beberapa pertanyaan untuk melebarkan sudut pandangku. Buku terakhirmu yang ‘Nomadic Heart’ menguras emosiku sebagai pembaca, nih .. Nah, buku ‘Nomadic Heart’ kan buku traveling yang jenisnya berbeda dengan buku-bukumu sebelumnya yang bersifat panduan. Boleh diceritain awal mulanya kamu kepikiran mengajukan naskah travelogue ini ke penerbit?
Pertama karena saya memang basic-nya kuliah di sastra, sebenarnya jauh sebelum nulis buku panduan, saya sudah nulis cerpen dan novel. Buku panduan adalah langkah awal saya kenal industri penerbitan dengan segala persoalannya. Beberapa orang mengatakan, bergabung dengan penerbit besar salah satu pertaruhannya adalah menggadaikan idealisme. Kenyataannya tidak seperti itu. Oke, mungkin ada yang seperti itu di penerbit lain, tetapi tidak di penerbit yang pernah kerja sama dengan saya. Saya menulis ‘Nomadic Heart’ tanpa dimulai dengan proses diskusi dengan penerbit. Itu murni ide saya, dengan cara menulis sesuai yang saya inginkan. Dua tahun saya menahannya, karena saya sendiri tidak yakin penerbit mau. Sampai saat salah seorang penerbit senior Bentang Pustaka iseng-iseng nanya naskah ke saya, saya sodori naskah itu. Awalnya bukan rencana mau diterbitkan, hanya ingin membaca saja. Sambil berseloroh, “Ntar kalau diterbitin penerbit lain, saya tidak perlu beli di toko buku,” itu kata sang editor. Saya sendiri tidak berharap banyak, bahkan mengirimkan naskah itu ke penerbit lain. Sampai dua bulan kemudian, saya dihubungi salah satu editor Bentang Pustaka, dan bilang tertarik untuk menerbitkan ‘Nomadic Heart’. Saya tanpa pikir panjang terima tawaran itu, dan menarik naskah yang sudah saya kirim di penerbit lain. Prosesnya cepat sekali, bahkan judul tidak diganti, isi juga nyaris tidak ada editing dari penerbit. Dari proses ini juga membuktikan, bahwa tidak benar saat kita bergabung dengan sebuah penerbit besar maka kita harus siap menggadaikan idealisme, seperti yang beberapa orang katakan. Nomadic Heart salah satu idealisme saya, dan nyaris tidak ada intervensi atas idealisme saya itu dari penerbit.
Buku ini kan non-fiksi dan kamu menyebut banyak nama di dalamnya, yaitu orang-orang yang kamu temui saat traveling. Ada semacam proses ‘permisi’ dulu enggak sih ke mereka buat masukin nama dan kisah mereka? Ceritakan ya …
Untuk hal-hal yang sifatnya sensitif dan saya harus menyebutkan nama, misalnya saya menceritakan tentang persoalan kehidupan di karakter Pop, saya permisi kepada dia. Dia bahkan mengirimkan foto-foto yang saya inginkan untuk mendukung buku ini. Demikian juga misalnya untuk cerita tentang Duco yang seorang gay, saya bahkan melalui proses diskusi lewat sosial media dan saya jelaskan maksud saya menulis kehidupan pribadi dia. Dia sangat mendukung tulisan itu bahkan ingin saya menuliskan secara jelas kehidupan pribadinya. Intinya, tidak ada tulisan di banyak cerita yang ingin menjatuhkan karakter-karakter tersebut, bahkan sebaliknya. Tetapi ada tulisan yang memang sensitif menampilkan karakter spesial seseorang. Nah, saya ingin menjaga nama baiknya dengan tidak menyebutkan nama aslinya, tetapi mengganti dengan nama “John Doe”.
Cerita-cerita di ‘Nomadic Heart’ ini juga banyak dari cerita perjalanan beberapa tahun lampau. Ada cara biar bikin cerita itu tetap segar dan enggak basi? Maksudnya masih kerasa feel-nya gitu padahal sudah lama berlalu.
Menurut saya, esensi sebuah traveling itu selalu akan relevan. Nah, di sinilah salah satu letak perbedaan antara catatan perjalanan (travelogue) dengan buku panduan. Buku panduan harus update, kalau enggak ya basi. Tetapi cerita perjalanan sangat-sangat relevan kapan pun. Saya membaca buku Prof HOK Tanzil tentang kisah perjalanannya keliling dunia yang terbit tahun 1980-an pun masih seru kok sampai sekarang.
Sudah terima respon apa saja dari pembaca tentang ‘Nomadic Heart’?
Alhamdulillah saya banyak terima respons positif. Salah satunya karena di buku itu saya blak-blakan, jujur, dan bahkan bagi saya cukup emosional dalam menulis. Sejak awal saya nulis ini, saya memang tidak ingin jaim (jaga image). Saya sudah siap risiko orang menilai saya apa pun, karena memang itu akan sangat tergambar jelas di buku. Maka saya tidak tersinggung saat ada satu pembaca saya yang menilai saya terlalu cengeng. Well, itulah saya. Saya tidak harus terlihat garang, gagah, dan tangguh, padahal sebenarnya saya bukan. Tidak jaim saat menulis itu melegakan. Saya menulis dan tidak berharap semua orang akan suka. Karena itu mustahil sekali. Jadi memang banyak yang suka, ada yang kecewa, ada juga yang diam saja. Apa pun saya menghargai.
Sebagai seorang travel writer dari mulai tren buku perjalanan muncul sampai sekarang makin banyak penulis-penulis baru dengan buku-buku yang beragam, ada cara untuk kamu tetap ‘bertahan’ ? Gimana cara kamu untuk terus menyegarkan diri dengan profesi ini?
Iya, dunia travel writing saat ini padat berjubel. Buku-buku traveling di rak toko buku sangat banyak. Saya sendiri tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan. Saya mengalir saja. Kebetulan penerbit masih mau tulisan saya, jadi ya hajar saja. Saya yakin, penerbit juga tidak mau rugi dengan menerbitkan tulisan yang tidak marketable. Saya ambil sisi baiknya, kalau penerbit masih mau dengan tulisan saya, berarti tulisan saya masih laku. Bagaimana supaya bertahan? Saya mengalir saja. Saya menulis dengan cara saya, saya tidak mau meniru cara menulis orang lain. Saat ramai orang menulis dengan gaya komedi, saya tidak mau terjebak di sana, kalau memang saya bukan orang yang bisa melucu. Sebagus-bagusnya kita mengikuti gaya orang, pemilik gaya orisinil tetaplah yang paling bagus. Saya juga tidak takut menjadi tidak populer ketika saya menulis dengan gaya tertentu yang berbeda dengan tren. Saya yakin banyak orang tidak suka gaya tulisan saya. Dua teman baik saya bahkan secara jelas mengatakan tidak suka gaya tulisan saya. Tetapi saya yakin, di luar sana at least satu orang ada yang suka tulisan saya. Nah, prinsip saya…selama penerbit mau menerbitkan, maka saya akan menulis dengan gaya saya. Tanpa memikirkan hiruk pikuk di luar. Mungkin itu yang membuat saya bertahan sampai buku delapan, karena saya menikmati proses menulis sesuai dengan keinginan saya.
Untuk masalah penerbitan buku, aku lihat kan buku-bukumu selalu diterbitkan di bawah naungan satu penerbit besar itu (meski ada jg yg di anak penerbitnya tapi tetap satu grup). Apa kamu sudah terpatok di satu penerbit itu? Ada kiat untuk selektif terhadap kirim naskah ke penerbit buku?
Menurut saya, industri penerbitan itu tak lepas dari hubungan baik antara penerbit (yang diwakili editor) dengan penulis. Bentang Pustaka juga membebaskan saya untuk bekerja sama dengan penerbit mana pun. Jadi tidak ada ikatan. Kalau kemudian buku saya nyaris semuanya diterbitkan mereka, ini karena hubungan saya dengan para editornya sudah bagus. Kami sering berdiskusi. Mereka juga sudah menaruh kepercayaan kepada saya, demikian juga sebaliknya. Kalaupun ada masalah, bisa diselesaikan dengan baik. Industri penerbitan itu keras. Banyak juga tipu-tipu juga di sana. Kalau tidak hati-hati, penulis sering jadi mangsa penerbit abal-abal. Ada teman saya yang sudah tertipu. Saya sendiri pernah mengalami hal buruk dengan penerbit tertentu. Kiat untuk menyeleksi ya dilihat saja kiprah penerbit-penerbit yang ingin dituju, dilihat dari terbitan-terbitannya. Kalau memang meragukan ya jangan kirim.
Untuk proses penulisan sendiri, biasanya kamu butuh berapa lama dari selesai melakukan perjalanan sampai menuangkannya ke dalam tulisan-tulisan? Apa saja yang kamu lakukan untuk meyegarkan lagi ingatan-ingatanmu?
Saya kalau nulis cepat. Sebulan juga kadang jadi. Kalau ‘Nomadic Heart’ prosesnya lama, karena memang rentang peristiwanya dari tahun sekian sampai sekian. Rata-rata saya nulisnya satu satu. Jadi tulisan tentang si A, mungkin sudah saya tulis tahun kemarin, tetapi tentang si B, menyusul tahun depannya. Dari semua itu, saya cuma harus menyesuaikan napas di setiap cerita, cari benang merah, supaya menjadi suatu cerita yang utuh dan terkait. Menyegarkan ingatan? Salah satunya dengan nulis di blog habis jalan. Beberapa tulisan di ‘Nomadic Heart’ misalnya, sudah saya tulis di blog jauh-jauh hari. Saya juga punya bank ide dan bank cerita.
Terakhir, sempat ada pernyataan kalau travel writer itu juga ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian tempat-tempat yang mereka kunjungi dan tuliskan, atau memberi batasan informasi-informasi yg dapat mengajari hal-hal buruk ke pembaca. Menurutmu?
Semua orang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan atau tempat yang dituju. Tetapi menyalahkan travel writer saja atas kerusakan alam atau tempat yang dikunjungi karena telah mempromosikannya adalah sesuatu yang picik. Industri pariwisata menaungi jutaan hajat hidup orang. Di sana ada pemilik hotel, pemilik resort, pelayan restoran, pegawai hotel, karyawan tur travel, hingga pedagang asongan di lokasi wisata, dan lain sebagainya. Jumlahnya jutaan. Travel writer tidak mempromosikan pun lokasi itu akan tetap dikunjungi orang dan industri pariwisata tetap jalan, karena kalau tidak maka jutaan orang tidak makan. Saya sependapat semua orang harus menjaga kelestarian lingkungan atau tempat yang dikunjungi. Pasti ada efek negatif yang muncul dari kunjungan orang, dan itu tidak terhindarkan. Di sinilah peran pemerintah, yang terepresentasikan dalam berbagai departemen, mulai pariwisata, lingkungan hidup dan departemen lainnya, untuk bersama-sama dengan stakeholders dunia pariwisata melakukan langkah-langkah edukasi, hingga revitalisasi atas kerusakan yang ada. Tetapi intinya, semua orang, setiap individu tetap bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lokasi wisata.
Terima kasih, mas Ariy.. sungguh senang bisa berdiskusi mengenai buku dan juga dunia traveling. Untuk teman-teman yang ingin mengorek penulis ini lebih lanjut, bisa hubungi dia akun twittter: @ariysoc dan juga blognya: a journo